-1-
Memandangi sebuah kisah pada langit malam.
Tentang permaisuri bintang yang datang membawa pasukannya, terbang mengitari sisi bulan.
Kadang pun ia terlelap dan ku saksikan langit kosong berkawan hitam.
Malam, sebuah dimensi yang tak berujung.
Sisi demi sisi datar menampakkan kesan bahwa betapa bisa ku gambar apa yang ku mau.
Malam, sebuah keinginan untuk kembali pulang.
Menikmati hangatnya rumah, berteduh dari angin yang garang.
Malam, sebuah penghayatan masa.
Dimana kita bisa berhenti dimanapun kita mau.
Setidaknya itu lah yang diucapkan oleh seorang lelaki yang tengah berteduh di bawahlangit malam ini.
Seorang lelaki yang sangat merindukan jalanan sempit menuju sebuah rumah.
Tidak jauh dari sebuah pematang kisah, dan tergeletak sisi harmonis deretan rumah-rumah lama.
Mengingatkan sebuah sejarah lama tentang bagaimana perang telah dimulai.
Seorang gadis kecil berselendang gelap, tengah merenung di sebuah sisi.
Ku lihat ia menatap sisi terbaik hidupnya yang telah bertemu lingkaran bulat merah.
Tapi bukan dia yang kutuju.
Sebuah rumah kecil bergores ukiran kayu yang kubuat sendiri.
Terpampang dari sisi jauh, sebuah kekolotan hidup atau mungkin orang bijak mengatakan kesederhanaan.
Pas untukku yang biasa dan tak terlalu hebat.
Siang hari, saat dimana aku pergi.
Malam hari, saat dimana aku kembali.
Sebuah rumah yang selalu ku sebut biasa, terlalu kubutuhkan saat badai seperti ini.
Sebuah rumah yang selalu ku singgahi, saat aku ingin menikamti waktu santai.
-2-
Sebuah bilik bambu diantara rentetan malam.
Bergeming langkah seiring mulai membayangi kisahnya.
Memutar balik melewati beberapa gerak-gerik masa lalu.
Beradu-adu dalam pikiran, mencari tempat pertama untuk diingat.
Seorang gadis belia remaja 16, mungkin 15, sedang menggoreskan ujung pencil di atas sehelai kertas.
Aku merindukan saat dimana aku membolak-balik, jalanan sempit menuju kelasnya yang riuh.
Saat ia selalu memandangiku curiga, mengapa aku selalu lewat di sana?
Kecintaanku pada seorang putri kecil, anak seorang raja persia.
Aroma kehadirannya, pernah membuatku hampir mati curiga.
Curiga, karena ia juga merasakan aku hadir di sana.
Kelap-kelip ringan bintang yang menghiasi malam kala itu, pernah berputar sangat indah.
Memberi kesan indah saat aku memulai cerita kepada langit malam yang sebenarnya sepi.
Hari ini, saat dimana ada seorang pengemis, berhelai dalam selimut apa adanya.
Mendambakan seorang brahmana, yang terpampang lirih menunggu seorang ramayana.
Seorang pengemis yang dicintai oleh seorang putri raja kerajaan persia.
Kau tau kisahnya?
Pemuda berkalung tasbih yang sedang mengamati riuh pasar.
Melihat sisi tinggi istana, terpampang ayu seorang brahmana.
Ia melirik dalam, tajam menembus sisi cinta, tepat mengalun jantung lalu bersemi indah.
Kita tak bisa saling mencintai saat ini, ku tunggu saat aku mampu. Itulah kata terakhir yang diucapnya.
Mengalun irama waktu, menghantarkan sisi romantis hari-hari.
Mulai merubah cinta menjadi benci, dan kembali bersemi.
Saat pemuda itu kini mencoba kehidupan barunya.
Aku ingin kau tahu, betapa hari-hariku penuh rindu.
Kau tau betapa karya-karya terbaikku untukmu kini mampu tergoda?
Hidupku berada di jalur berbeda, penuh ringkih dan warna lebih gelap dari punyamu.
Aku hanya ingin mengubah dunia ini menjadi lebih asri.
Dalam cerah kita mampu melihat gelap, dan dalam gelap kita mau berkorban untuk mencerahkan hidup.
Aku menikmati kisahku, dalam hari-hari malam yang aku lalui tanpamu.
-3-
Maka kerlingan kisah berlanjut lebih sayup dan diam.
Tentang permainan kecil yang terlarut untuk dimainkan.
Sebuah kisah masa lalu yang mencoba untuk kembali diulang.
Tetapi, lebih dari itu, kali ini mencari siapa yang menang.
Dalam waktu, ia menjadi peri hujan.
Menjadi indah dan selalu dinikmati para pujangga yang mencintainya.
Tapi aku tak bisa menggenggammu, hujan!
Jika kau ku genggam, sanggupkah kau melihatku kedinginan?
Aku yang tak sanggup melihat diriku tak sanggup lagi menggenggammu lagi nanti.
Maka peri pun kembali menggoda diri.
"lalu apakah yang kau inginkan?"
Jadilah sebuah rumah kecil untuk ku tempati.
Maka ia pun bergegas mengubah kesetiaan waktunya selama ini, beralih menjadi seonggok kayu balok ringan dan hangat.
Maka aku pun berkata bahwa aku akan datang sepulangnya aku mengemis.
Siapkah engkau?
Setiap hari mulai berlalu, maka sebuah kisahpun berlangsung sedikit demi sedikit.
Ku hargai kesetianmu, maka janganlah kau menjadi rumah untukku lagi.
Kau hangat untuk ku tempati, kau hebat setiap malam ku kembali.
Tapi ku tau, betapa kuat kau ingin melihatku mengemis, dari satu sisi ke lain sisi.
Maka jika kau mau, berubahlah kau menjadi mata batinku.
Yang mulai mengatur impuls sarafku.
Untuk memikirkan apa yang sedang terjadi.
Kau simpan mata batinku yang lama.
Mungkin suatu hari aku ingin menggunakannya, saat ku telah berhasil menjadikanmu ibu, untuk anak-anakmu.
-4-
Sapalah aku, jadikan aku temanmu.
Maka bila seorang gadis sepi sendiri.
Ada bujang lirih menemani.
Kisah sunyi lama sayup berayun.
Menikmati ringkih malam hari.
Anggaplah aku biasa.
Siapkan seonggok teri.
Untuk ku makan dengan ubi.
Agar aku tau bagaimana rasanya kenyang.
Dan mulai mengantuk menjadi-jadi.
Gadis belia sepi sendiri.
Di sebuah bilik bambu pematang rumah tuanku.
Diam sajalah kau di situ, jika aku datang sapalah aku.
Jika kau tak tau caranya?
Sisirlah rambutmu di depan pintu.
Maka ku bawakan kau kemiri.
Yang ku beli di pasar pagi ini.
Anggaplah aku biasa.
Dengan sederhana kita tertawa.
Bagaimana aku tak menangis.
Takut menggigil hilang sepi.
Jiwa berontak ingin lari.
Tapi hati tak siap ingin pergi.
Kau ingin melihat gambar tanganku?
bagaimana gadis belia sepi sendiri mampu?
Jika diam dan sunyi adalah kawan hari-hari?
Bunga duri menggeliat dalam daging.
Tak sakit malah menyiksa.
Cinta itu adalah tentang kita.
Bukan kau saja, aku saja, atau mereka.
Cerita kita.
Ukirlah.
Ku ukir dalam sebuah kertas tipis, kau?
Agar aku bisa lebih hati-hati menjaganya.
Dan tak sedetikpun aku berani lengah.
Jika tersungging saja robek semua.