Rentetan asap menggepul seiring-seiring, di atas sebuah jalanan sepi tepat tengah malam.
Di bawah piringan langit, ada seorang lelaki, berjalan menantang sisi gagah sepasang langit hitam.
Dia hanya tersenyum dan melihat sisi elok bintang menyapanya dengan sebuah urutan membingungkan.
Raut wajahnya tampak hanya sangat menerima, lalu berbalik elok mendobrak sisi diam sepoi angin kala itu.
Jerit,
Ingin.
Tapi, sudahlah, tak selesai pun masalah dengan menjerit.
Diam lalu berpikir, melarikan diri dari bayang waktu sejenak.
Keluar mencari angin ribut di dalam otak, berpindah dari satu impuls ke impuls lainnya.
Aku ingin ditemukan, aku tak mau terus melakukan pelarian.
Ketika aku merasa sendiri, aku mengingatmu sebagai candu.
Aku hanya ingin merasa biasa saat ini bersamamu.
Melakukan hal yang biasa ku lakukan, dan biasa kau lakukan.
Tidak ada yang terlalu aneh, karena bagiku hanya biasa.
Sampai suatu saat kau mampu menyimpan perasaanmu.
Memperkuat sedikit birokrasimu, walau hanya untukku.
Maka semua ini hanya biasa. seperti biasa.
Kau tau, bagaimana cara menguatkan perasaan?
Salah satunya, kau berbalik. loncati pulau di seberang langit painan itu!
Tinggalkan aku di sini, dan biarkan aku menerka apa yang kau lakukan di sana.
Entahlah, mungkin tidak semua, atau aku yang berlebihan. Lupakanlah.
Peristiwa menjejak, tepat beberapa minggu setelah aku merasa benar-benar sendiri.
Bukan sendiri, karena aku tak berteman, tapi karena aku kehilangan bahagian.
Biasanya jika aku berjalan, kanan kiri serentak mengisi langkah-langkah ku berlari.
Tapi, jika satu kaki hilang, maka aku sulit membiasakan diri untuk memulai kembali pelarian.
Kau mengerti aku, aku tak ingin membalikkan waktu.
Aku sudah sejauh ini, maka aku juga tak mau kembali.
Hanya saja, aku seperti pecandu. Yang mencoba melepaskan diri, dari barang yang mengikat pikiranku.
Mungkin sebulan, setahun, atau selamanya.
Yang aku ingin tahu, berapa lama aku mampu bertahan?
Bukan karena aku akan mati karena aku tak mampu.
Tapi karena aku akan tidak bisa menerima kenyataan
saat kuda putih menyeberang menjemputmu, dari balik figura pelangi hari itu.
Hari saat dimana aku harus menyesali, ketidakmampuanku melepasmu.
Menulis tanpa perasaan. Mencintai yang tak ada.
Berbicara tanpa ekspresi. Menjahit tanpa benang.
Peristiwa menjejak, tepat hari ini aku kembali berlari-lari kecil di balik peristiwa masa lalu.
Saat seorang pianis muda belia, mengajariku cara menciptakan lagu yang indah.
Saat datang seorang pelari, mengajariku cara mencuri.
Saat mendekat seorang penari, yang mengajariku cara jatuh yang indah.
Semua bergerak berkelit, membuat simpul sederhana yang menguatkan rentetan peristiwa sesudahnya.
Ku lemahkan hatiku untuk mencintaimu.
Ku selipkan sebuah kesederhanaan untukmu.
Bahwa kau bukanlah yang terbaik dari sekian banyak wanita.
Tapi kau adalah rumah yang tepat untukku berteduh, saat hujan turun.
Ku taruh sebuah keanggunan untukmu.
Bahwa kau bukanlah makanan terbaik dari sekian banyak makanan
Tapi kau adalah roti yang hadir tepat di depan seorang yang lapar.
Ku taruh sebuah kekuatan untukmu
Bahwa kau bukanlah ibu terbaik dari sekian banyak ibu
Tapi kau adalah ibu terbaik untuk anak-anakku.
Maka, peristiwa menggapai.
Saat suatu hari aku ternyata tak kembali.
Atau ada yang lebih nyata di depanmu.
Jadikan aku sebagai cerita tidur untuk anak-anakmu.
Biarkan mereka menerka-nerka, atau berharap memiliki kejadian serupa.
Dan ceritakan aku sebagai orang baik yang menjadi jahat, yang akhirnya mati oleh pahlawan yang baik hati.
Aku suka tokoh itu, lebih mengarah kepada sisi keduniawianku. Tentang seorang yang mencari telaga, di sebuah padang pasir.
Tentang seorang yang pernah mencintaimu, Sampai saat dia menulis tulisan ini untukmu.