Menunggu hujan di sebuah bilik jerami.
Kau selalu datang, berdendang bersama rumbia.
Kau seperti intan jatuh, tapi tak mampu di tangkap.
Bagaimana menangkap hujan?
Jika saat ku tampung dia berubah air.
Aku tak menyukai saat hujan turun.
Aku tak suka bukan karena aku benci.
Karena kau lihat saja mereka, anak-anak kecil di balik jendela.
Yang katanya hari ini akan bermain bola.
Aku tak menyuruhmu tak datang hari ini.
Tapi tunggulah, ada saat tepat di mana kita bisa bercengkrama hari ini.
Makanya, sebaiknya berhentilah menjadi hujan.
Lebih baik kau menjadi tumpukan jerami.
Yang mendengarku saat sesekali bernyanyi.
Atau memutar kata menjadi sebuah puisi.
Aku selalu merindukanmu saat menjadi hujan. Teramat.
Jika kau tau, dibalik semua kata-kata berhenti itu, tersirat agar kau nyata di depanku.
Bukan sebagai gumpalan air, yang bentuknya seperti agar-agar. Ah, mana menarik.
Jadilah sesuatu yang ku butuhkan.
Seperti rumah, yang meneduhkanku dari sosok lain sepertimu.
Kau tau? Dahulu kau seperti hujan untuk hidupku,
Tapi sejak aku berhenti memandangmu,
Kau telah berubah, menajdi seonggok jerami.
Yah, benar! Kau telah menjadi seonggok jerami.
Teruslah. Teruslah.
Walaupun badanku sedikit gatal karena sudah berbaring di atasmu.
Maaf, aku tak pernah menangkap senyummu lagi
Aku tak mau, takut.
Aku hanya menyimpannya, dalam-dalam di peti hatiku.
Agar bisa ku buka suatu hari. Dengan atau tanpamu lagi.
Hujan menjadi jerami.
Teruslah, teruslah.
Ku kembali esok pagi.
Dengarlah, dengarlah.