Sebuah rumput di dalam kerumunan gandum.
Begitu hijau, tapi tak lebih tinggi dari akar jati.
Terinjak, tak pernah di lihat, hanya berkawan kerikil bersemut.
Begitu teriris bagi kawan mereka di taman ria,
bersama manusia kecil yang tersenyum.
Katanya, hama.
Sebuah rumput di ladang gandum.
Ia begitu mendambakan sentuhan dari sejawat.
Yang hijau dan terurus.
Berkawan ulat bulu dan tanah bekas gerusan berkali-kali.
Seperti ia berkali-kali memohon untuk menjadi sebuah gandum.
Bercengkrama dengan dengan sejawat di sebelahnya.
Berikrar dengan sepucuk gandum yang kokoh di sebelahnya untuk hidup bersama.
Hingga suatu saat ia siap untuk dipanen.
Tapi ia hanya sebuah rumput di ladang gandum.
Berkontribusi menemani tanah bekas gerusan berkali-kali.
Katanya, hama.
Sebuah rumput di ladang gandum.
Perspektif moral yang jongkok, butuh perbaikan.
Menumpang air bekas siraman, tinggal di tanah tak berkawan.
Terdampar di tempat berbeda, menjadi karya yang berbeda.
Batal menjadi pendamping sepucuk gandum terbaik.
Katanya, hama.
Sebuah rumput di ladang gandum.
Apakah ia berfantasi atas perihal diri terus-terusan.
Bahwa benar ia sebuah rumput di ladang gandum?
Atau mungkin ia adalah sepucuk gandum terburuk.
Yang tak berapa lama lagi akan di panen.
Dan dijual pada tukang loak.
Yang berkeliling setiap minggu pagi.
Pada petani gandum sekitar sini.
Katanya, tak mungkin terjual mahal.