Sebuah permadani dalam bahtara suci sangkar laut
Ku temui dubalang ombak tengah berlari mengejar tepi pantai yang keruh
Paduka mentari juga tak ingin kalah dalam perang siang ini
Perang yang membuat seribu mata manusia takjub
Bukan perang yang membuat lebih dari seribu kapal tertidur bersama awaknya yang lemas
Karena kehabisan makan dan minum, dan kehabisan tenaga untuk menjatuhkan lawannya
Prestise langit pada awan sangat baik
Ia ciptakan tujuh ratus buih kebiru-biruan dalam satu per tujuh ratus lebih air tergenang
Ada hujan yang juga kadang menemani, bahkan sang Petir yang jatuh cinta padanya juga seringkali mengikuti
Mendung yang tak ingin tinggal di rumah, juga ikut menari-nari sementara sang hujan tengah asyik menyapa seluruh permukaan
Matriks ringan sang anomali, berpendar dalam riak yang membias lemah
Saat hujan ingin terlelap, lihat mentari membuatnya indah.
Ini adalah tentang seorang nelayan pencari ikan hari itu
Bergerak mulai sore, tepat saat matahari mulai malu-malu untuk kembali bersinar
Kapalnya berenang indah mengamati sisi-sisi kota air yang datar
Ia yang melihat bagaimana riak mulai berpendar seperti lampu kota atlantis kala malam datang
Ia yang melihat bagaimana bulan begitu sunyi berkolaborasi nyanyian laut bersama bintang
Ia yang merasakan nada-nada itu, membuatnya bergoyang-goyang tanpa sadar
Seorang nelayan pencari ikan malam itu
Manusia paling tampan di antara makhluk yang tengah duduk bermenung di atas air
Jam tujuh sore tadi ia pergi, dan sampai saat pagi ini anak-anaknya terbangun, ia masih belum kembali.
Mungkin angin tak lagi kembali ke darat, hari ini.
Hanya itu yang bisa ku sampaikan, pada anak-anaknya saat mereka bertanya
Kemana ayah kami?