Pernah aku terbaring pada suatu pagi saat matahari masih sepenggalahan
Dalam pendaran cahaya langit membungkam celah jendela
Terang, aku tertegun oleh debu yang berkeliaran
Senyap seperti langkah semut hitam dalam rongga kayu jati
Menyaksikan aku sendiri
Bulan purnama kini tak lagi datang di malam hari. Tapi setiap hari.
Seperti seorang ibu menjaga anaknya yang sakit-sakitan
Ia membelaiku seperti angin yang saat menyentuh kulit ia menghilang
Karenanya aku menjadi kedinginan, tapi dengannya aku bernafas
Akankah ia pulang?
Aku akan terus menulis hingga aku tak punya jari lagi
Dan saat aku mulai melupakannya, aku akan membaca tulisanku ini
Bukan tentang apakah aku seorang utusan diplomatis cinta atau semacamnya
Tapi mengenai akankah aku bisa mengulangi hal yang sama seperti dahulu
Agar saat aku kembali, aku bisa menyisakan dua menit hari itu
Memastikan lagi apakah dia masih mencintaiku.
Seorang wanita biasa yang ku cintai dengan biasa
Tidurlah lelap malam ini.
Biarkan waktu berkicau semaunya
Tinggi lompatan belalang kecil di tepi kali
Akan selalu terancam oleh katak yang diam
Biarkan aku bersemut dan mulai rapuh tergores
Tidak perlu terawat untuk rumah yang ditinggalkan
Aku berkelakar bersama daun yang tak percaya diri
Katanya
Kemana kita?