Thursday, September 08, 2011

Sang Pengukir

Seorang pengukir terperangah di sudut bebatuan yang ia susun sendiri dalam pikiran
Pada matanya tersalin dongeng sedih jamur beracun di tengah rimba yang berharap menjadi rotan
Lengan kanan yang lunglai, menopang ruas leher yang mulai sakit-sakitan
Melihat prespektif kecil bayangan air mata di sebuah berkas cahaya putih
Seperti gambar domba yang sepi

Tak ada yang tahan dengan kisah seperti ini
Bahwa menanti hari-hari yang terkesan itu-itu saja
Bagai membalik kertas koran yang berisi satu halaman
Lalu tergelatak pada meja kumuh berkawan kulit kacang yang berserakan

Aku tau akan datang masanya
Saat seorang gadis kecil menemukan payung saat akan pulang dari mengaji
Menolak jaket hangat yang akan tetap basah saat ia menempuh hujan ini

Aku tau akan datang masanya
Saat seorang nelayan akan pergi melaut
Dan pulang dengan tangan kosong
Karena ikan-ikan masih ingin bermain lebih lama
Dan belum siap untuk dimasak pagi nanti

Aku pun tau bahwa saat seorang sudah mulai letih bernyanyi
Ia hanya akan duduk menyepi di sebuah tempat kosong
Lalu melihat bintang di malam hari dan berpikir
Jika aku ke sana, apakah ada kau yang menemani?

Aku pun tau akan datang masanya
Saat rancangan kosong hanya menjadi sebuah cerita
Yang diminati saat orang tak lagi memikirkannya
Oleh seorang yang berbeda

Aku, seorang pengukir, yang terperangah di sebuah sudut kosong yang sempit
Dengan tangan mengapit betis yang mulai kasar
Dalam pikiran hanya ada sebuah dilema
Mana yang di sebut ini semua adalah nyata?
Jika aku tak bisa berbuat apa-apa lagi atas ketidakberadaan apa-apa ini.