(Bukittinggi, 3
Desember 2011)
Begitu banyak kotoran-kotaran penyumbat di negeriku tercinta
Pernah diusir sekoloni badak berculah satu di tempat ia
dibesarkan
Terduduk langkah-langkah kecil di atas trotoar berembun
Mulai basah oleh kerlingan air selokan yang dihantam ban-ban
kotor
Dan kini tanahku yang luas mulai dipagari tuan-tuan tanah
buncit
Yang diisi Cuma rumput liar sarang ular
Tempat dimana kelinci-kelinci kecil mati menggenas
Dan kini, jalan setapak pun tak lagi aman
Seperti dimana aku bernafas sekarang
Dari langit-langit negeri yang memburam
Karena mentari tak dibiarkan masuk walaupun perlahan
Dalam jendela-jendela rapuh rumah para penduduk
Semua terjadi, telah terjadi, dan mungkin akan terus terjadi
Di tanahku yang seluas ini dari negeri pasai hingga tanah
emas hijau
Semuanya hanya bisa melongo seperti beruk-beruk lapar
Melihat pawangnya makan sendiri
Pisang yang ia beli di pasar tadi pagi
Di tanahku yang seluas ini dari negeri timur hingga barat
melintang
Semuanya hanya bisa meratap di atas selokan
Seperti anak-anak semut yang tersesat
Melihat induknya di rajam karena melacur
Tak sanggup membayar hutang seribu rupiah
Karena uangnya telah dulu dicuri
Oleh preman buncit gedung kura-kura
Ah, setumpuk uang dari kami yang kau makan sendiri
Bukan seperti ajaran ibu pertiwi saat membesarkan Hatta
Bukan cara yang benar untuk menjadi orang yang paling kaya
Karena ini Indonesia, tempat dimana ekonomi berjaya
Bukan diperdaya seperti babi yang masuk jerat petani
Kemasi barang-barangmu dan pergilah
Di sini bukan tempatmu untuk tidur nyenyak
Ataupun makan di samping orang-orang yang sedang kelaparan
Semua terjadi dan telah terjadi
Akan terus terjadi selama kau belum pergi!